Kamis, 12 Januari 2012

You Are Always In My Heart




Kalau kita bawa kembali ingatan kita ke bulan May 1998, sudah pasti kita yang tinggal di Jakarta teringat bagaimana kita mengalami masa-masa mencekam kerusuhan. Kantor dan sekolah ditutup. Semua orang bersembunyi di balik tembok pagar rumah masing-masing.

Tetapi untuk keluarga besar Kossim dimanapun kita berada, May 1997 juga berarti kenangan duka keluarga. Kita kehilangan tiga orang anggota keluarga tercinta, Ci Merry, Ingrit dan Rika.

Kita semua pasti punya kenangan-kenangan manis yang tak bisa dihapuskan dari ingatan. Moment indah yang kita pernah lewati bersama mereka. Untuk saya pribadi kehilangan mereka seperti kehilangan sahabat dekat.

Dari saya masih kecil kita sudah sering sekali kumpul bersama. Merayakan ulang tahun bersama sudah pasti tidak terlewatkan. Saya juga ingat mama pernah buat kue untuk ulang tahun Ingrit/Rika. Pernah juga kita pergi berenang ke Taman Angsa, atau kalau liburan sekolah, papa akan antar saya ke rumah mereka dan setelah papa pulang kerja, dia akan jemput lagi sorenya. Saya suka sekali kalau datang ke rumah mereka, asyik dan seru main bersama mereka, lari sana sini, makan bersama, tertawa terbahak-bahak. Banyak sekali kenangan manis yang tidak mungkin saya sebut satu-satu.

Ci Merry (+)
Ci Merry selalu saya ingat sebagai seorang wanita kuat dan tangguh. Dia juga seorang mama yang gaul dan sangat mengerti anak remaja. Sahabat dekat bagi Ingrit dan Rika. Kenangan terakhir dengan Ci Merry adalah waktu saya menginap ditempatnya beberapa bulan sebelum tragedy terjadi. Dia perlakukan saya bukan seperti tamu atau saudara, tetapi seperti anaknya sendiri juga.














Astrid, Alvin, Ingrit, Ary
Ingrit, gadis cantik dan gaul, selalu up-to-date sama trend terbaru. Jaman dulu yang namanya internet masih langka, dia sudah surf and chat on the net. Jaman dulu jamannya sahabat pena, Ingrit punya segudang sahabat pena. Dia bahkan berikan satu sahabat pena untuk saya; yang sampai saat ini saya masih terus berhubungan.
Kenangan terakhir dengan Ingrit sekitar sebulan sebelum tragedy. Kita ngobrol-ngobrol di telepon. Ingrit ajak saya untuk datang menginap lagi, tapi saya tolak karena saat itu masa Ebta/Ebtanas SMU bagi dia dan saya tidak mau mengganggu waktu belajarnya.






Rika
Rika gadis easy going dan periang. Rika kalem tapi murah senyum dan banyak tertawa juga. Kenangan terakhir dengan Rika kira-kira satu bulan sebelum tragedy.
Kita pergi main ice-skating bersama. Ngobrol-ngobrol dan cerita soal rencana perayaan sweet-seventeen yang seharusnya mau dirayakan di Planet Hollywood bulan October 1997 dan berjanji akan datang menginap ke tempatnya saat liburan kenaikan kelas.











Kepergian mereka yang begitu mendadak membuat saya cukup terpukul dan sedih. Semua rencana kita untuk kumpul bersama lagi tidak kesampaian.
Sekarang saya memutuskan untuk tidak lagi berduka cita melainkan bersuka cita dan bersyukur untuk masa-masa indah yang saya alami semasa Ci Merry, Ingrit dan Rika masih ada di dunia.
Saya yakin saat ini mereka sudah berbahagia di surga dan ikut tersenyum bersama saya mengenang masa-masa kecil bahagia kita bersama.

Sydney, Juli 2011, Astrid Sim

Minggu, 08 Januari 2012

KENANGAN NCEK DAN NYEK



SIM TJOEN OEY

Encek, adalah orang yang sangat keras, disiplin dan kaku terhadap kami anak2nya, jarang sekali ada canda riang dalam rumah, padahal sebenarnya perhatian dan kasih sayangnya kepada anak2nya sangatlah besar.  Bahkan bukan hanya terhadap anak-anaknya saja perhatian itu diberikan, keponakan-keponakannya juga banyak yang merasakannya, seperti anak-anak encek Tiang ( Sim Tjoen Tiang) yang pernah tinggal dirumah Rambang dan juga keluarga Lakko Sim Kie Kui, yang saking dekatnya sama2 tinggal di Tanjung Enim, keponakannya sudah seperti anak2nya sendiri.  Ketika Empek Siang ( Sim Tjun Siang ) memutuskan untuk meninggalkan  Indonesia untuk merantau mengadu nasib ke Singapura, salah satu anaknya Yan ( Sim Tjiu Yan) karena keterbatasan kemampuannya atau agak bodoh, maka ditinggalkan dirumah engkong untuk diurus, maka jadilah Yan tinggal di Tanjung Enim membantu toko Engkong, bersama sama menjalankan toko di Tanjung.

Kenangan bersama Yan juga banyak, dia yang biasanya memboncengkan kami kesekolah tiap hari dan menjemput saat sekolah usai. Satu kenangan saya bersama Yan yang kalau saya kenang2 akan selalu tertawa, suatu sore, saya nakal dan mengganggu Yan yang sedang membereskan, menyusun botol kecap ke rak, saya mengganggunya lantas Yan marah dan mengangkat botol kecap sambil diacungkan kesaya, kupukul jugo palak kau, kata Yan, saya menjawab, cobo kalau berani, karena saya yakin Yan tidak mungkin melakukan hal itu karena dia tidak pernah menyakiti siapapun. Lantas Yan menjawab, Dak usah dicobo cobo, kalo dicobo kepala kau yang metu kecap. He he.  Sekarang ini semua keluarga besar Empek Sim Tjun Siang almarhum berada di Singapore kecuali Yan yang sekarang ada di Palembang.

Waktu saya memutuskan untuk kuliah di Bandung, Encek menyerahkan keputusannya pada saya sendiri, karena Encek kurang paham masalah pendidikan tapi dukungannya pada anak2nya yang mau sekolah sangatlah besar. Masalah sumbangan dan uang kuliah beliau serahkan saya yang memutuskannya sendiri, Encek tinggal membayarnya saja, mengenai biaya hidup setiap bulan dikirimnya tidak pernah terlambat bahkan selalu terlalu awal, karena Encek takut anaknya kehabisan uang dan kelaparan atau berbuat aneh-aneh yang tidak diinginkannya, setiap bulan tanggal 15 wesel kiriman uang sudah datang.  Jaman itu belum ada ATM seperti sekarang yang kalau uang disetor ke Bank, langsung bisa diambil di ATM dimana saja, waktu itu uang dikirim via kantor pos, kemudian wesel posnya dikirim ketempat tujuan dan baru setelah kartu wesel diterima kita bisa kekantor pos untuk mengambil uang yang dikirim, jadi makan waktu cukup lama, padahal itu uang untuk keperluan bulan berikutnya dan uang bulan inipun belum habis terpakai. 

Encek sangatlah getol dalam mencari uang dan satu cerita yang diceritakan sendiri oleh Encek, dijaman Jepang dulu, kalau jualan gak boleh seenaknya menaikkan harga,dan timbangan gak boleh kurang, suatu hari tentara Jepang datang ketoko dan mengatakan bahwa Encek jual berasnya terlalu mahal, encek menjelaskan kalau belinya juga sudah mahal, lantas tentara itu mau membawa encek  kekantornya dan apabila itu terjadi tentunya mereka akan menyiksa encek kita, tentara itu bilang, ayo ikut saya, nanti saya antar ketempat beli beras yang murah, tapi encek menjawab, saya gak bisa ikut, istri saya sedang hamil tua, siapa ya yang sedang dalam kandungan enyek waktu itu? Kayaknya tahun 1944 itu Ie Mie yang sedang dikandung emah, jadi deh Ie Mie sebagai penyelamat encek, dan si Jepang tidak jadi membawa encek kita, terima kasih Tuhan, Kau telah melindungi encek / engkong kami tercinta.

Kami yang masih kecil tidak pernah mengenal secara fisik sama Engkong / Kongco Sim Sun Hay, namun sama Mah / Enco Tjoa Eng Nio, kami sangatlah dekat, beliau orang yang sangat baik, lemah lembut dan penuh perhatian bukan saja pada keluarganya, cucu2nya bahkan sampai sama orang luar juga diperhatikannya. Contoh terakhir  adalah ketika di Palembang ada satu anak yang bernama Mamat anak tukang cuci pakaian adalah contoh hidup yang masih ada yang pernah merasakan kebaikan enco kita.Satu hal yang paling saya ingat adalah, pada suatu hari ada seseorang di Tanjung Enim, memerlukan uang dan pinjam pada Mah/enco tapi karena uang yg dipinjam cukup besar dan enco gak ada uang cash, maka beliau menjual perhiasannya untuk meminjamkan uangnya pada orang tersebut, yang pengembalian uangnya boleh dicicil, yang pada akhirnya kita semua pasti tahu, uang tersebut tidak akan kembali.


LIM PO NIO



















Sedang mengenai Nyek / Emah Lim Po Nio, beliau orangnya juga baik dan lebih bisa bermain main dengan anak cucunya, suka berpantun, bercerita dan seorang pekerja keras seperti engkong. Pantunnya yang paling popular sampai ke cucu2nya hafal adalah pantun Cungak bulan, yang bunyinya, Cek ndun duduk nyulam jarum patah jeriji luko. Kalu rindu cungaki bulan, kato sepato jangan dilupo. Satu hal yang tidak mungkin kami lupakan yaitu cara mah menghukum saya dan juga cucunya yang pernah mengalami yaitu Cai, sebagai anak2 yang nakal, kalau engkong menghukum kami dengan rotan kemocing, yang disabetkan kekaki tangan bahkan kalau perlu belakang badan kami, itu sering kali tidak membuat kami kapok dan takut, kenakalan dan kesalahan2pun akan kami ulangi lagi, mah punya cara menghukum kami dengan cara yang unik yang membuat kami ampun2 yaitu ditetesin lilin pada kaki dan tangan kami.
Nah buat kita keturunan Engkong, jangan ditiru kekurangan engkong, tapi hanya kebaikannya saja yang sebaiknya kita kenang dan teladani. Begitu juga cara2 mah menghukum anak cucunya tidak boleh ditiru sama sekali, biarlah itu jadi kenangan tak terlupakan buat kita semua.

Meminjam kata2 Ci Han ting di hari kematian mah sebelum keberangkatan peti mah ketempat peristirahatannya yang terakhir yaitu, bahwa hubungan darah itu seperti air disungai yang tidak bisa diputuskan olah apapun dan, cobalah kamu potong dengan pedang yang tajam, maka dia akan terputus sebentar kemudian menyatu kembali, oleh karena itu marilah kita selalu bersatu, hidup dengan rukun dan damai, saling menghormati satu dengan lainnya dalam keluarga besar SIM, mengalir seperti air disungai.



Jakarta, 6 Juli 2011
Sim Tjiu King

SEJARAH KELUARGA SIM TJOEN OEY


Dalam sejarah Negeri Tirai Bambu,  nama itu berevolusi dari mulai Dinasti Shang (1600-1046SM) dimana nama masih berupa 1 kata (tanpa nama Marga) kemudian berubah menjadi 2 kata dimana kata pertama adalah Marga dan kata kedua adalah nama pribadi dan akhirnya sejak Dinasti Han (206SM – 220) berubah menjadi 3 kata yang terdiri dari : 1 Nama Marga(Surname), 1 Nama Generasi dan 1 Nama Diri.  Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Marga Keluarga Besar Sim Tjoen Oey adalah Marga Sim.  Nama Marga sendiri tidaklah sedikit.  Dari penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli didapatkan bahwa ada ribuan nama marga.

Sim itu sendiri adalah marga dalam bahasa Hokkian, jika diterjemahkan dalam bahasa Mandarin maka Sim itu adalah Shen (沈)  Arti nama Shen adalah Men Who Don’t Yield To Power.   Daerah asal Marga Shen adalah di  Wu Qing di Provinsi  ZheJiang  terletak di pinggir sungai Yangtze berdekatan dengan Jiangsu, ZheJiang dan Shanghai.

Ada beberapa cerita mengenai asal muasal Nama Shen :
  1. Klan Shen adalah keturunan dari Kaisar Huang Ti. 
  2. Cucu dari Shao Hao adalah Gurunya Raja dan dia punya 2 anak yaitu Yun Ge dan Tai Dai.  Tai Dai diberikan hadiah tanah ShanXi atas keberhasilannya mengatasi banjir selama pemerintahan Zhuan Xu.  Keturunan Ta Dai terpecah menjadi 4 suku bangsa yaitu Shen, Yi, Ru dan Huang, yang dikenal dengan sebutan 4 Kerajaan.  Kerajaan She terletak di RuNan, HeNan.   Pada tahun 506 Sebelum Masehi semua Kerajaan Utara bersekutu melawan Kerajaan Chu.  Kerajaan Shen tidak berpartisipasi dan akhirnya dihancurkan.  Sejak itu seluruh rakyatnya menggunakan nama Shen
  3. Saudara paling kecil Zhou Wu Wang bernama Ran Ji diberikan Kerajaan Shen untuk mencegah pemberontakan setelah kematian saudaranya.  Penerusnya juga menggunakan nama marga Shen.
  4. Asal muasal lain berasal dari  nama Belakang Mi.  Selama masa Chun Qiu, Cucu terbesar Chu Jon Wang bernama Shen Yi Shu adalah Gubernur Kota Shen.  Karena keberhasilannya memberantas korupsi maka penerusnya pun menggunakan nama Marga Shen.


Cerita Keluarga Besar Sim Tjoen Oey di Indonesia diawali oleh Sim Say (Engkong dari Sim Tjoen Oey).  Sim Say adalah pedagang yang datang dari Tiongkok ke Palembang.  Kedatangan Sim Say kira-kira tahun 1900 an.  Adapun dagangannya kala itu antara lain : senapan angin, lampu petromak dan macam-macam kain.  Karena kegigihannya Sim Say berhasil menjadi pedagang besar, kaya dan sukses.  Banyak toko-toko di Pasar 16 Ilir yang  dikuasai oleh Sim Say.  Saking suksesnya Sim Say membangun tangga beserta dermaga kecil untuk bersandarnya kapal-kapal, dan sampai saat ini tangga tersebut masih ada dan dikenal dengan nama Tangga Sim Say.

Bersama dengan Sim Say ini ikut pula anaknya yang bernama Sim Sun Hay dan juga sepupunya Tjun Siong.   Pada akhirnya Sim Sun Hay akhirnya  menikah dengan Tjoa Eng Nio.  Tjoa Eng Nio sendiri adalah anak dari seorang laki-laki Tiong Hoa dan perempuan asli Palembang asal Seberang Ulu yang beragama Islam.  Dari pernikahan mereka lahirlah 7 orang anak yaitu :
  1. Sim Tjoen Siang
  2. Sim Tjoen Oey
  3. Sim Tjoen Tiang
  4. Sim Tjoen Tek
  5. Sim Beng  Kui
  6. Sim Tjoen Giap
  7. Sim Kie Kui



Sim Tjoen Oey dilahirkan 17 Maret 1914 di Kota Muara Enim.  Bayi mungil bernama Sim Tjoen Oey inilah yang nantinya akan tumbuh menjadi sosok besar, aktor utama dan pahlawan bagi Keluarga Besar Sim  Tjoen Oey.  Dari kecil, Sim Tjoen Oey terlihat sangat menonjol dan berbakat sebagai pedagang.  Terutama karena semangat dan kerja kerasnya.  Sim Tjoen Oey banyak membantu Sim Soen Hay dalam berdagang.   

Dalam perjalanan hidupnya Sim Tjoen Oey dalam usia yang sangat muda akhirnya bertemu penopang dan pendamping sejati hidupnya yaitu Lim Po Nio anak dari pasangan Lim Kin Hin dan Ong Tjeng Nio yang lahir pada tanggal 10 Maret 1912 di Palembang.  Mereka inilah awal dari lahirnya kita semua, Keluarga Besar Sim Tjoen Oey.

Dalam perjalanan,  Sim Sun Hay menyekolahkan kedua anaknya Sim Tjoen Tiang dan  Sim Tjoen Tek kembali ke Negeri Tirai Bambu.  Sim Sun Hay membelikan rumah untuk ditempati kedua anaknya ini di Ciokbei (Xiaman, Provinsi Fujian) .   Sampai saat ini rumah tersebut masih ada dan kepemilikannya atas nama Sim Tjoen Tiang.  Sim Tjoen Tiang sendiri menimbulkan masalah ketika sekolah di sana dan akhirnya harus pulang kembali ke Palembang bersama Sim Tjoen Tek. 

Sim Say sendiri sebagai pedagang kaya raya memiliki rumah besar di Sim Ke Taw.  Rumah besar tersebut memiliki banyak sekali kamar.  Dan juga di sekelilingnya ada hamparan sawah yang sangat luas.  Sekarang sawah-sawah tersebut telah dijual oleh orang-orang yang diserahi kepercayaan untuk mengurus sawah tersebut.  Dan sekarang di lokasi sawah-sawah tersebut telah dibangun bangunan-bangunan yang bagus.  Namun rumah besar tersebut sampai saat ini masih berdiri dan masih ditempati oleh keluarga besar dari sepupu Sim Tjoen Oey.  Mereka ini tadinya juga tinggal di Indonesia namun akhirnya memutuskan kembali ke Tiongkok ketika ada peristiwa PP 10.  PP 10 adalah peristiwa dimana seluruh pendatang dari Tiongkok harus menjadi WNI, mereka yang tidak mau menjadi WNI harus pulang ke Tiongkok.  Sejak itulah mereka pulang dan menetap di Tiongkok.  Dari keluarga kita sendiri ada beberapa orang yang direncanakan untuk pulang ke Tiongkok, antara lain Sim Han Mei dan Sim Han Ing.  Untuk kepulangan mereka ini telah disiapkan 3 peti yang sangat besar untuk diisi seluruh keperluan mereka.  Namun akhirnya mereka tidak jadi pulang karena kapal yang akan datang menjemput dibatalkan.

Sim Sun Hay sendiri pernah mengajak istrinya Tjoa Eng Nio untuk tinggal di Sim Ke Taw.  Namun karena tidak tahan menghadapi suhu dingin terutama saat musim dingin, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke Muara Enim.  Tjoa Eng Nio sendiri adalah perempuan yang sangat cerdas.   Ketika 8 bulan tinggal di Sim Ke Taw, beliau dapat belajar dengan cepat sehingga langsung bisa fasih berbahasa Hokkian.

Harta kekayaan Sim Say di Palembang akhirnya harus ludes karena salah seorang anaknya menghabiskannya di meja judi.  Kenangan tentang Sim Say sendiri hanyalah tinggal Tangga Dermaga yang masih ada sampai sekarang.  Tangga tersebut masih terkenal dengan nama Sim Say, walaupun belakangan orang lebih senang menyebut tangga tersebut dengan nama Tangga Haji Soleh.

Sim Sun Hay meninggal pada umur yang sangat muda di Muara Enim pada tahun 1928.  Tjoa Eng Nio sendiri meninggal dunia di tahun 1984 dan dimakamkan di Palembang.

Kami ucapkan banyak terima kasih pada Encek/cekong Sim Tjoen Tek yang melalui anaknya Sim Lie Sin telah membantu kami memberikan informasi tentang sejarah/asal usul keturunan keluarga Sim.



Jakarta, 6 Juli 2011
Sim Tjiu King