Minggu, 08 Januari 2012

KENANGAN NCEK DAN NYEK



SIM TJOEN OEY

Encek, adalah orang yang sangat keras, disiplin dan kaku terhadap kami anak2nya, jarang sekali ada canda riang dalam rumah, padahal sebenarnya perhatian dan kasih sayangnya kepada anak2nya sangatlah besar.  Bahkan bukan hanya terhadap anak-anaknya saja perhatian itu diberikan, keponakan-keponakannya juga banyak yang merasakannya, seperti anak-anak encek Tiang ( Sim Tjoen Tiang) yang pernah tinggal dirumah Rambang dan juga keluarga Lakko Sim Kie Kui, yang saking dekatnya sama2 tinggal di Tanjung Enim, keponakannya sudah seperti anak2nya sendiri.  Ketika Empek Siang ( Sim Tjun Siang ) memutuskan untuk meninggalkan  Indonesia untuk merantau mengadu nasib ke Singapura, salah satu anaknya Yan ( Sim Tjiu Yan) karena keterbatasan kemampuannya atau agak bodoh, maka ditinggalkan dirumah engkong untuk diurus, maka jadilah Yan tinggal di Tanjung Enim membantu toko Engkong, bersama sama menjalankan toko di Tanjung.

Kenangan bersama Yan juga banyak, dia yang biasanya memboncengkan kami kesekolah tiap hari dan menjemput saat sekolah usai. Satu kenangan saya bersama Yan yang kalau saya kenang2 akan selalu tertawa, suatu sore, saya nakal dan mengganggu Yan yang sedang membereskan, menyusun botol kecap ke rak, saya mengganggunya lantas Yan marah dan mengangkat botol kecap sambil diacungkan kesaya, kupukul jugo palak kau, kata Yan, saya menjawab, cobo kalau berani, karena saya yakin Yan tidak mungkin melakukan hal itu karena dia tidak pernah menyakiti siapapun. Lantas Yan menjawab, Dak usah dicobo cobo, kalo dicobo kepala kau yang metu kecap. He he.  Sekarang ini semua keluarga besar Empek Sim Tjun Siang almarhum berada di Singapore kecuali Yan yang sekarang ada di Palembang.

Waktu saya memutuskan untuk kuliah di Bandung, Encek menyerahkan keputusannya pada saya sendiri, karena Encek kurang paham masalah pendidikan tapi dukungannya pada anak2nya yang mau sekolah sangatlah besar. Masalah sumbangan dan uang kuliah beliau serahkan saya yang memutuskannya sendiri, Encek tinggal membayarnya saja, mengenai biaya hidup setiap bulan dikirimnya tidak pernah terlambat bahkan selalu terlalu awal, karena Encek takut anaknya kehabisan uang dan kelaparan atau berbuat aneh-aneh yang tidak diinginkannya, setiap bulan tanggal 15 wesel kiriman uang sudah datang.  Jaman itu belum ada ATM seperti sekarang yang kalau uang disetor ke Bank, langsung bisa diambil di ATM dimana saja, waktu itu uang dikirim via kantor pos, kemudian wesel posnya dikirim ketempat tujuan dan baru setelah kartu wesel diterima kita bisa kekantor pos untuk mengambil uang yang dikirim, jadi makan waktu cukup lama, padahal itu uang untuk keperluan bulan berikutnya dan uang bulan inipun belum habis terpakai. 

Encek sangatlah getol dalam mencari uang dan satu cerita yang diceritakan sendiri oleh Encek, dijaman Jepang dulu, kalau jualan gak boleh seenaknya menaikkan harga,dan timbangan gak boleh kurang, suatu hari tentara Jepang datang ketoko dan mengatakan bahwa Encek jual berasnya terlalu mahal, encek menjelaskan kalau belinya juga sudah mahal, lantas tentara itu mau membawa encek  kekantornya dan apabila itu terjadi tentunya mereka akan menyiksa encek kita, tentara itu bilang, ayo ikut saya, nanti saya antar ketempat beli beras yang murah, tapi encek menjawab, saya gak bisa ikut, istri saya sedang hamil tua, siapa ya yang sedang dalam kandungan enyek waktu itu? Kayaknya tahun 1944 itu Ie Mie yang sedang dikandung emah, jadi deh Ie Mie sebagai penyelamat encek, dan si Jepang tidak jadi membawa encek kita, terima kasih Tuhan, Kau telah melindungi encek / engkong kami tercinta.

Kami yang masih kecil tidak pernah mengenal secara fisik sama Engkong / Kongco Sim Sun Hay, namun sama Mah / Enco Tjoa Eng Nio, kami sangatlah dekat, beliau orang yang sangat baik, lemah lembut dan penuh perhatian bukan saja pada keluarganya, cucu2nya bahkan sampai sama orang luar juga diperhatikannya. Contoh terakhir  adalah ketika di Palembang ada satu anak yang bernama Mamat anak tukang cuci pakaian adalah contoh hidup yang masih ada yang pernah merasakan kebaikan enco kita.Satu hal yang paling saya ingat adalah, pada suatu hari ada seseorang di Tanjung Enim, memerlukan uang dan pinjam pada Mah/enco tapi karena uang yg dipinjam cukup besar dan enco gak ada uang cash, maka beliau menjual perhiasannya untuk meminjamkan uangnya pada orang tersebut, yang pengembalian uangnya boleh dicicil, yang pada akhirnya kita semua pasti tahu, uang tersebut tidak akan kembali.


LIM PO NIO



















Sedang mengenai Nyek / Emah Lim Po Nio, beliau orangnya juga baik dan lebih bisa bermain main dengan anak cucunya, suka berpantun, bercerita dan seorang pekerja keras seperti engkong. Pantunnya yang paling popular sampai ke cucu2nya hafal adalah pantun Cungak bulan, yang bunyinya, Cek ndun duduk nyulam jarum patah jeriji luko. Kalu rindu cungaki bulan, kato sepato jangan dilupo. Satu hal yang tidak mungkin kami lupakan yaitu cara mah menghukum saya dan juga cucunya yang pernah mengalami yaitu Cai, sebagai anak2 yang nakal, kalau engkong menghukum kami dengan rotan kemocing, yang disabetkan kekaki tangan bahkan kalau perlu belakang badan kami, itu sering kali tidak membuat kami kapok dan takut, kenakalan dan kesalahan2pun akan kami ulangi lagi, mah punya cara menghukum kami dengan cara yang unik yang membuat kami ampun2 yaitu ditetesin lilin pada kaki dan tangan kami.
Nah buat kita keturunan Engkong, jangan ditiru kekurangan engkong, tapi hanya kebaikannya saja yang sebaiknya kita kenang dan teladani. Begitu juga cara2 mah menghukum anak cucunya tidak boleh ditiru sama sekali, biarlah itu jadi kenangan tak terlupakan buat kita semua.

Meminjam kata2 Ci Han ting di hari kematian mah sebelum keberangkatan peti mah ketempat peristirahatannya yang terakhir yaitu, bahwa hubungan darah itu seperti air disungai yang tidak bisa diputuskan olah apapun dan, cobalah kamu potong dengan pedang yang tajam, maka dia akan terputus sebentar kemudian menyatu kembali, oleh karena itu marilah kita selalu bersatu, hidup dengan rukun dan damai, saling menghormati satu dengan lainnya dalam keluarga besar SIM, mengalir seperti air disungai.



Jakarta, 6 Juli 2011
Sim Tjiu King

2 komentar:

  1. Rio tambahkan keterangan fotonyo, yg mano engkong dan mah, foto samo siapo bae??
    Yg mah itu samo Nyai Dju, adeknyo mah, engkong fotonyo samo cekong Giap, dan Sim Hui Tiong, anak Sim Tjun Tiang

    BalasHapus
  2. Hai, mungkin kita belum pernah ketemu.. tapi saya Tami, cucunya Sim Tjun Giap. Saya lagi coba cari silsilah leluhur, trus google nama engkong dan nemu blog ini. :) Kalau Anda punya info mengenai nama-nama leluhur keluarga besar SIM, saya mohon bantuannya. Ini email saya: utamiyoga@hotmail.com
    Terima kasih!

    BalasHapus